Basuhbersihlkan bejana terlebih dahulu dengan sampai bersih ya'ni hilangnya wujud najis tersebut, dimanasecara kasat mata tidak terlihat lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Hanya saja secara hukum (hukmiyah) najisnya tetap masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air. Siapkan Tanah yang Bersih Najishukmiyah adalah najis yang sudah tidak memiliki warna, bau dan rasa alias najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih dihukumi najis. 2 dari 4 halaman. Cara Menyucikan Najis Mukhaffafah. Usai dipercikkan air, barang yang terkena najis diperas dan dikeringkan, misal baju yang terkena air kencing bayi laki-laki yang a Najishukmiyah, yaitu najis yang kita yakini adanya akan tetapi tidak nyata dzat, bau, rasa maupun warnanya, seperti air kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang terkena najis. b. Najis 'ainiyah, yaitu najis yang masih terdapat dzat atau Contohnajis ini, yaitu air kencing bayi laki-laki kurang dari 2 tahun yang hanya diberi ASI tanpa makanan lain. Cara menyucikannya cukup mudah, yaitu dengan memercikkan air bersih pada bagian yang terkena najis. 2. Najis Mutawassitah. Najis mutawassitah adalah najis yang sifatnya sedang. PenyebabBayi Gumoh. Gumoh adalah keluarnya cairan, susu, atau makanan yang baru saja ditelan. Dalam istilah medis, gumoh ini disebut dengan refluks. Kondisi ini normal dialami bayi karena kerongkongannya yang belum tumbuh berkembang sepenuhnya dan ukuran lambung bayi yang masih kecil. Alodokter. Najis mukhaffafah merupakan najis dengan klasifikasi ringan yang cara menyucikannya cukup dengan menyiramkan air ke seluruh tempat yang terkena najis tersebut.Salah satu contoh najis mukhaffafah adalah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan masih mengonsumsi air susu ibu (ASI). Sederhananya, najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor dan menjijikkan. Lebihlanjut dijelaskan, saat menggabungkan pakaian bernajis dan tidak bernajis dalam satu wadah, kemudian air yang dimasukkan ke dalam wadah tersebut dibiarkan tergenang atau tidak mengalir. "Nanti yang terkena kencing atau najis kita sucikan dulu di luar, baru dimasukkan ke dalam mesin cuci," "Jadi walaupun kita campur tidak apa-apa lagi ckC9ha. Bagi seorang muslim, najis adalah suatu hal yang sangat dihindari. Setidaknya karena dua alasan makanan dan shalat. Makanan yang terkena najis menjadi haram dikonsumsi, dan shalat tidak sah jika terdapat najis pada badan, pakaian, atau tempat shalat. Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan hukum menghindari najis, beliau menyampaikan ولا يجب اجتناب النجس في غير الصلاة، ومحله في غير التضمخ به في بدن أو ثوب فهو حرام بلا حاجة Artinya, “Tidak wajib menghindari najis pada selain shalat. Kecuali sengaja menyentuhkan badan atau pakaian dengan najis, maka haram jika dilakukan tanpa ada tujuan yang dilegalkan syariat” Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut Dar Ibn Hazm], halaman 79. Meskipun tidak wajib dihindari, namun najis yang didapat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja pada akhirnya tetap harus dihilangkan. Karena itulah seorang muslim lebih memilih menghindarinya. Sesuatu yang terkena najis statusnya dalam fiqih disebut mutanajjis, atau barang yang terdampak najis—secara umum di masyarakat tetap dise​but dengan istilah najis saja​​​​​​—. Misalnya pakaian yang terkena darah, pakaian tersebut menjadi mutanajjis sebab dihinggapi najis berupa darah. Namun, tidak semua persentuhan dengan najis dapat mengakibatkan sesuatu menjadi mutanajjis. Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wan Nazha’ir mengutip kaidah dari Imam al-Qamuli sebagai berikut النجس إذا لاقى شيئا طاهرا وهما جافان لا ينجسه Artinya, “Ketika najis bertemu dengan sesuatu yang suci dalam keadaan keduanya kering, maka najis tersebut tidak memberi dampak pada sesuatu yang terkena olehnya.” As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, [Beirut Darul kutub Al-Ilmiyyah 1990], 432. Berdasarkan kaidah di atas dapat diketahui bahwa jika najis dan sesuatu yang bersentuhan dengannya sama-sama dalam keadaan kering, maka sesuatu tersebut tidak menjadi mutanajjis. Lalu bagaimana jika salah salah satunya basah? Imam Al-Khathib As-Syirbini dalam Mughninya mengatakan وما نجس بملاقاة شيء من كلب سواء في ذلك لعابه وبوله وسائر رطوباته وأجزائه الجافة إذا لاقت رطبا غسل سبعا إحداهن بتراب Artinya, “Sesuatu yang terdampak najis akibat bersentuhan dengan anjing, baik air liur, air seni, dan cairan lainnya, atau bagian tubuh anjing yang kering bersentuhan dengan sesuatu yang basah, maka sesuatu tersebut wajib dibasuh tujuh kali salah satunya dengan debu.” As-Syirbini, Mughni al-muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1994], juz I, halaman 239. As-Syirbini memang menjelaskan najis anjing, namun prinsip di dalamnya berlaku dalam segala jenis najis. Ada dua poin yang terkandung dalam penjelasan tersebut. Pertama, najis yang basah menyentuh sesuatu yang kering, seperti air liur anjing mengenai benda kering. Kedua, najis kering menyentuh sesuatu yang basah, seperti bagian tubuh anjing yang kering menyentuh benda yang basah. Dalam dua keadaan demikian, sesuatu yang terkena najis menjadi mutanajjis, terlebih jika keduanya dalam keadaan basah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa benda yang bersentuhan dengan najis dapat menjadi mutanajjis jika ketika terjadi persentuhan keduanya atau salah satunya dalam keadaan basah. Jika keduanya dalam keadaan kering, maka tidak menjadikannya mutanajjis. Wallahu a’lam. Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo. Home Tips Sabtu, 10 Juni 2023 - 0719 WIBloading... Mazhab Maliki berargumentasi bahwa air mani itu najis karena asal muasal air mani adalah darah yang juga najis. Foto/Ilustrasi Ist A A A Apakah hukum air mani suci atau najis? Para ulama berbeda pendapat tentang status air mani, ada yang berpendapat itu tergolong benda yang najis dan ada yang berpendapat itu suci . Ustadz Isnan Ansory Lc dalam buku berjudul "Tiga Sumber Najis" menjelaskan, mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air mani tidaklah najis. Dalilnya adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang menyamakan air mani dengan dahak yang disepakati kesuciannya. عن ابن عباس قال سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن المني يصيب الثوب ، فقال إنما هو بمنزلة المخاط والبصاق وإنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أو بإذخرةDari Ibnu Abbas ra , Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Nabi Muhammad SAW menjawab, "Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain." HR Baihaqi Baca Juga Ada juga hadis yang diriwayatkan dari Aisyah ra , bahwa ia mengerik bekas air mani yang telah kering. Rasulullah SAW lalu menggunakannya untuk sholat, sedangkan sisa-sisa maninya masih أفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فيصلي فيه "Dari Aisyah ra bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW yang telah kering dan beliau salat dengan mengenakan baju itu. HR. Bukhari dan Muslim.Sementara itu, Mazhab Hanafi , Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa status mani adalah najis. Dalil mereka adalah hadis yang diriwayatkan Aisyah ra, beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah SAW yang telah mengering di pakaian beliau. كنت أغسل المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فيخرج إلى الصلاة، وأثر الغسل في ثوبه بقع الماء "Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk salat meski pun masih ada bekas pada bajunya.” HR Bukhari dan Muslim Baca Juga Dari Abu Hurairah tentang mani yang melekat pada pakaian. "Kalau kamu melihat air mani maka cucilah bagian yang terkena saja, tetapi kalau tidak terlihat, cucilah baju itu seluruhnya." HR Thahawi dalam Syarah Ma'ani al-'Atsar Pendapat al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra yang memandang bahwa air mani itu najis sebagaimana air kencing yang telah disepakati kenajisannya. Sedangkan mazhab Maliki berargumentasi bahwa air mani itu najis karena asal muasal air mani adalah darah yang juga najis. Lalu darah itu mengalami istihalah perubahan wujud sehingga menjadi mani, namun hukumnya tetap ikut asalnya, yaitu darah yang najis. Baca Juga mhy mani atau sperma najis suci hadis nabi hukum islam Artikel Terkini More 2 jam yang lalu 2 jam yang lalu 2 jam yang lalu 3 jam yang lalu 3 jam yang lalu 4 jam yang lalu Secara bahasa najis berarti segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun suci. Bila berdasarkan arti harfiah ini maka apa pun yang dianggap kotor masuk dalam kategori barang najis, seperti ingus, air ludah, air sperma dan lain sebagainya. Sedangkan secara istilah ilmu fiqih najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah shalat lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta Darul Kutub Islamiyah 2008], hal. 72. Di dalam fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana ditulis oleh para fuqaha dalam kitab-kitabnya, salah satunya oleh Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safiinatun Najaa فصل النجاسات ثلاث مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات Artinya“Fashal, najis ada tiga macam mughalladhah, mukhaffafah, dan mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.” Untuk lebih rincinya perihal apa saja yang termasuk barang najis—terutama najis mutawassithah—silakan baca artikel berjudul "Mengenal Barang-barang Najis menurut Fiqih". . Ketiga kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk menyucikannya. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara menyucikan ketiga najis tersebut perlu diketahui istilah “najis ainiyah” dan “najis hukmiyah” terlebih dahulu. Najis ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan kata lain najis ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya, sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih dihukumi najis. Pengertian ini akan lebih jelas pada pembahasan tata cara menyucikan najis. Adapun tata cara menyucikan najis sebagai berikut 1. Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum dibasuh dengan air mesti dihilangkan terlebih dulu ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum hukmiyah najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air. Untuk benar-benar menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara lainnya. Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh. Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh. 2. Najis mukhaffafah yang merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara memercikkan air ini harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut. Setelah itu barulah diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk menyucikan harus mengalir. 3. Najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ainiyah-nya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan. Sebagai contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti najis ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah. Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada dengan tidak adanya warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering baru kemudian menyiramkan air ke lantai yang terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air bisa cukup di area najis saja, dan sudah dianggap suci meski air menggenang atau meresap ke dalam. Selanjutnya kita bisa mengelapnya lagi agar lantai kering dan tak mengganggu orang. Mengetahui macam dan tata cara menyucikan najis adalah satu ilmu yang mesti diketahui oleh setiap Muslim mengingat hal ini merupakan salah satu syarat bagi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya. Wallahu a’lam. Yazid Muttaqin sesuai sunah adalah buang air kecil dengan duduk, namun jika seseorang kencing dengan berdiri maka tidak masalah selama aman dan najisnya tidak mengenai pakaian dan tubuhnya. Jika seseorang buang air kecil dengan berdiri, lalu ia meyakini bahwa sebagian air kencingnya mengenai pakaiannya, maka ia wajib mencuci titik yang terkena najis, tidak cukup hanya dipercikkan atau diusap pada tempat najisnya tersebut, yang diwajibkan adalah mencucinya dengan mengguyurkan air di atasnya. Jika seseorang merasa ragu-ragu apakah pakaiannya terkena kencing atau tidak, maka ia tidak wajib mencucinya; karena hukum asalnya adalah pakaiannya suci sampai ia merasa yakin betul bahwa pakaiannya terkena najis. Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ berkata “Jika anda merasa yakin bahwa ada tetesan air kencing maka anda wajib beristinja’ dan berberwudu setiap kali mau shalat dan mencuci titik yang terkena najis tersebut. Adapun jika masih merasa ragu-ragu maka tidak perlu mencucinya, dan hendaknya berpaling dari yang meragukan sehingga tidak terkena was-was”. Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta’ 5/106 Jika seseorang bertanya tentang hal yang bermanfaat baginya dalam urusan agamanya, maka hal ini bukanlah aib dan juga bukan was-was bahkan hal itu merupakan upaya mencapai kesempurnaan dan berusaha mendapatkan kebaikan. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk setiap kebaikan karena Dia-lah Yang Maha Kuasa akan hal tersebut. Wallahu A’lam.

was was terkena najis atau tidak